Kota Surakarta atau biasa akrab disebut dengan Kota Solo adalah kota yang kerap dijuluki sebagai kota Budaya. Hal ini sangat beralasan, karena kota ini memiliki banyak sekali budaya yang telah dilaksanakan secara turun-temurun hingga saat ini.
Berbagai prosesi budaya seperti Sekaten, Grebeg Sudiro hingga Kirab Malam Satu Suro adalah beberapa yang sudah cukup terkenal dan mampu mendatangkan wisatawan dari berbagai daerah di Indonesia hingga mancanegara.
Ritual budaya tersebut tak lepas dari peran Keraton Surakarta yang bisa dibilang menjadi pencipta dari ritual-ritual tersebut yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.
Kebanyakan ritual-ritual tersebut digelar setahun sekali untuk berbagai peringatan. Misalnya Sekaten yang menjadi perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW atau juga Kirab Malam Satu Suro untuk perayaan tahun baru Islam.
Namun ada juga perayaan yang digelar pada waktu-waktu yang tidak menentu, salah satunya adalah Ritual Kalahayu.
Tentang Ritual Kalahayu
Ritual Kalahayu adalah sebuah perayaan untuk menyambut datangnya gerhana matahari. Momen gerhana matahari ingin disambut dengan rasa suka cita pada ritual kalahayu ini.
Menurut sejarah ritual ini awalnya adalah wujud ketakutan masyarakat Jawa khususnya daerah Keraton Surakarta yang menganggap bahwa gerhana matahari adalah suatu pertanda akan datangnya petaka.
Masyarakat Jawa kuno percaya bahwa gerhana matahari disebabkan karena murkanya Bathara Kala (Dewa Waktu) karena ulah manusia yang kemudian membuat dia memakan matahari tersebut
Namun kemudian seiring berjalannya waktu, para seniman kota Surakarta mengubah tradisi ini menjadi perayaan yang penuh sukacita. Mereka ingin menyebarkan stigma bahwa gerhana matahari bukanlah suatu momen yang menyeramkan. Sebaliknya, gerhana matahari adalah momen perkawinan alam raya yang harus dimaknai secara positif dan disambut dengan penuh sukacita.
Prosesi Ritual Kalahayu
Ritual Kalahayu dimulai dengan melakukan arak-arakan atau dalam bahasa Jawa disebut kirab. Dalama kirab ini para peserta ritual membawa gunungan yang berisi hasil-hasil bumi seperti kacang-kacangan, buah-buahan, pala kependhem hingga rempah-rempah.
Para peserta yang mendapat tugas mengangkat gunungan ini biasanya akan mengenakan pakaian bawahan putih dan selendang putih yang disampirkan di bahu layaknya kostum empu pada jaman dahulu.
Setelah gunungan selesai diarak, prosesi selanjutnya adalah menggelar Adeng-adeng. Ini adalah sebuah ritual dimana masyarakat berkumpul dan membuat suara lewat kentongan atau lesung yang dipukul. Dalam istilah Jawanya kegiatan ini disebut dengan Klothekan.
Pada perkembangannya ada beberapa versi ritual yang dilakukan selain Klothekan, diantaranya adalah menepuk pohon kelapa dengan bantal, bancakan hingga mengelilingi sawah. Namun yang paling umum dilakukan adalah Klothekan.
Selanjutnya digelar juga prosesi Adang Ageng atau yang jika dibahasa indonesiakan kurang lebih adalah masak besar. Adang Ageng ini biasa dilaksana dengan menggunakan alat masak bernama kencang dan juga kukusan.
Setelah semua prosesi-prosesi tersebut selesai dilakukan maka kemudian gunungan yang berisi hasil bumi tadi akan dibagikan kepada masyarakat sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan nikmat yang melimpah.
Perkembangan Ritual Kalahayu
Dalam perkembangannya ritual kalahayu ini mulai mendapat sentuhan-sentuhan seni agar semakin menarik. Dalam ritual ini biasanya akan diisi juga dengan pementasan tarian, pertunjukkan wayang tandur dan pembuatan keris Kyai Singkir Plastik.
Selain agar bertambah menarik, penambahan-penambahan variasi dalam ritual kalahayu ini diharapkan mampu membuat wisatawan ataupun masyarakat tertarik untuk menyaksikan ritual yang satu ini.
Meski begitu, apabila tertarik tentu saja harus menunggu gerhana matahari terlebih dahulu untuk dapat menyaksikan ritual dari kota Surakarta ini.