Mengenal Suku Baduy, Cerita Dari Keseharian dan Adat Istiadat

Mengenal Suku Baduy, Cerita Dari Keseharian dan Adat Istiadat
Promosi Shopee

“Gunung Ulah dilebur, Lebak Ulah Dirusak” merupakan semboyan suku Baduy yang berarti mereka harus menjaga dan melestarikan alam, perjalanan saya kali ini ialah mengunjungi desa wisata Baduy melalui pintu masuk desa Ciboleger.  Pintu masuk Ciboleger kala itu lumayan penuh dengan pengunjung, ditandai dengan jejeran mobil dan beberapa motor yang terparkir di terminal Ciboleger. Kali ini saya ditemani oleh Kang Aning, pemuda berusia 19 tahun yang berasal dari suku Baduy Luar, dari dialah saya dan kawan-kawan mendapatkan banyak informasi seputar keseharian dan adat istiadat suku Baduy.

Aning menuturkan aktivitas sehari-seharinya selain menjadi tour guide adalah pergi berladang ke kebun atau menjual beberapa barang dagangannya seperti madu hutan khas Baduy dan beberapa oleh-oleh seperti tas Koja, batik Baduy dan beberapa buah tangan lainnya.

Dari pemuda inilah kami mendapatkan informasi bahwa suku Baduy Luar sangat terbuka dengan kedatangan para tamu yang hendak berkunjung ke desa Baduy, selain ramah dan santun Aning merupakan sosok pemuda Baduy yang ulet, tekun dan progresif.

Selain menjadi penjaga dan menjadi jembatan informasi bagi orang luar untuk mengetahui info seputar suku Baduy, orang-orang Baduy Luar tidak ada bedanya dengan orang-orang seperti kita pada umumnya, mereka memiliki handphone untuk berkomunikasi, berjualan dan sebagian pemuda-pemudi Baduy dapat membaca dan menulis. Bedanya mereka tidak bersekolah serta tidak diperbolehkan memiliki kendaraan.

Sikap Ramah yang Menenangkan Hati

Adat merupakan hal yang sakral dan wajib dipatuhi di dalam keseharian suku Baduy, bahkan mereka akan menjawab adat merupakan “agama” yang mereka yakini, meskipun tercatat dalam administratif negara bahwa kepercayaan suku Baduy adalah Sunda wiwitan. Dari penuturan Aning tentang keseharian mereka berladang dan akses jalanan yang hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki, saya dapat menyimpulkan bahwa suku Baduy merupakan orang yang ulet, bersahaja dan sikap ramah yang memikat hati para pengunjung.

Di dalam kesehariannya, sebagian orang berladang dan para perempuan Baduy menenun kain khas Baduy di depan teras rumah mereka yang notabenenya masih panggung dan memakai bilik alias bambu sebagai bahan utama bangunan rumah.

Budaya gotong royong pun sangat kental di kalangan suku Baduy, seperti halnya membangun rumah hanya dibutuhkan waktu sekitar satu minggu lebih untuk membangun satu rumah warga, karena mereka saling bahu membahu tanpa pandang bulu untuk mendirikan rumah salah satu warga mereka.

Saat bertanya mengenai makanan khas, Aning bertutur mereka hanya memakan makanan ala kadarnya seperti nasi dan ikan asin serta sesekali daging ayam, untuk membeli beras orang Baduy Dalam biasanya akan keluar menuju Baduy Luar dan sekitarnya untuk membeli beras.

Selain itu tingkat kriminalitas di suku Baduy bisa dikatakan minim alias nol, jika dari penuturan Aning hal yang termasuk ke dalam kategori kejahatan ialah mencuri durian tanpa izin, namun kalau durian itu jatuh sah-sah saja untuk diambil oleh siapa saja, sungguh sebuah moral value di tengah tingkat kriminalitas kehidupan masyarakat kita.

Ketahanan Pangan dan Hobi Mantai

Dari bangunan leuit alias lumbung padi orang Baduy, dapat dilihat bahwa ketahanan pangan suku Baduy sangatlah bagus, mereka tidak menjual hasil panen mereka ke luar, melainkan menyimpannya di leuit untuk 2-3 bulan ke depan, sehingga mereka tidak akan pernah kekurangan bahan pangan.

Mereka juga tidak pernah memaksa bagi orang Baduy yang hendak ke luar alias meninggalkan desa Baduy, kendati suku Baduy memiliki banyak peraturan yang wajib ditaati seperti yang Aning contohkan saat hendak mengantar kami ke Gazebo (perbatasan Baduy Luar dan Dalam) ialah memakai baju berwarna hitam atau biasa dikenal dengan kampret serta sebilah golok yang diselipkan di sisi kiri pinggang.

Ia bertutur bahwa saya malu jika tidak memakai baju ini, karena saya menghargai adat dan istiadat yang telah ada baik itu di Baduy Luar maupun Dalam. Namun jika suku Baduy sudah menyatakan dirinya untuk keluar, maka tidak diperkenankan kembali untuk kembali ke Baduy dalam artian ke luar seutuhnya. Aning juga bercerita jika mereka bosan mereka hanya rindu pantai, mereka akan pergi untuk sekedar traveling ke pantai.

Bagi Anda yang ingin merasakan suasana malam di Baduy bisa menginap di salah satu rumah warga dengan tarif Rp200.000 dengan kapasitas maksimal 5 orang. Namun, bagi Anda yang tidak tahan dengan tidak adanya listrik bisa menginap di Hotel Kharisma yang terletak di kota Rangkas tepatnya di Jl. Otista Raya, No 58, Rt / Rw : 001 / 004, Cijoro Pasir, Kec. Rangkasbitung, Kabupaten Lebak dengan biaya menginap sekitar Rp200.000- Rp450.000 per malam. Jarak tempuh dari kota Rangkas ke wisata Baduy sekitar 2 jam perjalanan. Anda bisa menghubungi via telepon di (0252) 201125.

Sambil berseloroh dan senyum khas orang Baduy, Aning merupakan salah satu pemuda Baduy yang dapat mempresentasikan budaya dan daerahnya dengan baik, selain itu ia juga bisa membaca dan menulis secara otodidak. Pengalaman saya kali ini sungguh tak tergantikan, soul travel alias perjalanan rohani dan jiwa saya terisi penuh oleh keramahan dan senyum manis khas orang Baduy yang turut mengobati hati dan pemikiran saya yang gersang akibat pekerjaan, intimidasi perkotaan, dan persaingan hidup yang semakin ketat. Terima kasih Baduy, kami pasti akan kembali.

Related posts